1.
Pendahuluan
Sejarah
berdirinya Perpustakaan Nasional RI dan peran organisasi profesi. menurut hemat
saya, harus dibahas secara terpisah karena walaupun berdekatan, kedua hal
memiliki titik tolak yang berbeda. Dalam sejarah perpustakaan, asal usul sebuah
perpustakaan nasional jauh lebih tua daripada usia asosiasi pustakawan. Hal
tersebut bukan saja terjadi di negara maju yang sudah mapan melainkan juga di
Negara berkembang, yang kebanyakan semula merupakan bekas negara jajahan.
Sebagai contoh usia Library of Congress dapat ditelusuri ke koleksi Presiden
Thomas Jefferson pada abad 18 sementara pustakawan Amerika yang dihasilkan oleh
Lembaga Pendidikan (Columbia University) baru ada pada tahun 1876.
Di
kawasan ASEAN seperti di Malaysia, Singapura, Philipina dan Thailand, titik
awal keberadaan perpustakaan nasional jauh lebih mendahului keberadaan organisasi
pustakawan. Organisasi pustakawan di ke-empat negara baru berdiri pada abad 20
sementara cikal bakal perpustakaan nasional sudah ada pada abad 19. Hal serupa
juga terjadi di Indonesia sehingga topik Perpustakaan Nasional dan Ikatan
Pustakawan Indonesia perlu dibahas secara terpisah.
2.
Perpustakaan Nasional RI
Perpustakaan
Nasional RI sebagai sebuah perpustakaan, bila dilihat dari koleksinya, dapat
ditelusur ke Perpustakaan Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap yang
didirikan pada tahun 1778. Kepala perpustakaan yang ditunjuk adalah seorang
ilmuwan. Lembaga tersebut (Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap)
kemudian diberi tambahan Koninklijk sebagai penghargaan atas karyawan serta
merupakan lembaga ilmu pengetahuan tertua di Asia2. Koleksi KBGKW
ini tetap utuh selama pendudukan karena pada tahun 1942 pemerintah Hindia
belanda menyatakan Batavia sebagai kota terbuka, lalu gedung sebelah Museum
Nasional (kini Departemen Pertahanan, dahulu Rechtshogeschool) dijadikan
markas besar Kempetai (polisi rahasia Jepang) yang terkenal kekejamannya.
Alhasil koleksi BKGKW tetap utuh, berbeda misalnya dengan koleksi perpustakaan
khusus lainnya, ada yang dirusak misalnyanya berbagai perpustakaan dan
perkebunan yang berada di luar kota besar yang banyak mengalami kerusakan
semasa pendudukan Jepang dan sesudahnya3, padahal sebelumnya banyak
yang masih dalam kondisi baik4.
Setelah
Indonesia merdeka, BGKW berubah menjadi Lembaga Kebudajaan Nasional Indoensia,
dengan demikian koleksinya menjadi koleksi perpustakaan Lembaga Kebudayaan
Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya lalu menjadi museum dengan sendirinya
Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia menjadi Perpustakaan Museum
selanjutnya menjadi perpustakaan Museum Nasional, kemudian berkembang sebagai
koleksi Perpustakaan Nasional di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1980) selanjutnya menjadi Perpustakaan Nasional sebagai lembaga negara non
departemen (1988). Kedudukan ini tetap sampai sekarang.
2.
Catatan mengenai sejarah Perpustakaan Nasional menurut buku Kiprah
Pustakawan
Menyangkut
penulisan sejarah Perpustakaan Nasional yang dimuat dalam Kiprah Pustakawan ada
4 hal yang ingin saya kemukakan sebagai berikut :
(1)
Bibligrafi Sebagai sebuah karya yang ditulis oleh 2 (dua) pustakawan senior,
bibligrafi yang disebutkan pada halaman 476-480 cukup menyedihkan. Sebagai
contoh nama Masini Hardjo Prakosa yang menulis sekitar 4 (empat) makalah
tentang Perpustakaan Nasional sama sekali tidak ada.5 Apakah memang
kesengajaan karena buku ini ditulis sekitar tahun 1997 dan 1998 yang ditandai
dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Suharto disusul dengan era reformasi?
Ataukah dalam kaitannya dengan Perpustakaan Nasional, tahun 1998 ditandai
dengan adanya demo mahasiswa JIP FSUI yang menuntut pembatalan penjualan Gedung
Medan Merdeka Selatan 11 serta surat edaran yang mendesak mundurnya Ibu Mastini
sebagi kepala Kepala Perpustakaan Nasional?6 Juga karya Natadjumena7
dan Zen8 mengenai perpustakaan nasional tidak dicantumkan.
(2)
Tiadanya sumber primer berupa dokumen tentang awal mula Perpustakaan Nasional
pada p.476 dicantumkan karya Dunningham (1954) berupa “Intisari pidato
petunjuk”9 padahal karya Dunningham yang sering dirujuk adalah
laporannya yang ditulis bersama-sama R. Patah10 Laporan tersebut
tidak secara eksplisit menyebutkan perlunya sebuah perpustakaan nasional (national
library) dalam konteks Unesco11, melainkan sebuah national
library service yang membawahi provincial negara libraries dengan
tujuan memberikan jasa kepustakawanan untuk umum. Dari segi dokumen tidak
menyebutkan perpustakaan nasional, tetapi dari segi konteks, apa yang
dimaksudkan dengan sebuah national library service adalah fungsi yang
lazim dilakukan oleh sebuah perpustakaan nasional. Tiadanya sitiran pada karya
Dunningham merupakan kesalahan besar bagi siapa saja yang mau menulis tentang
sejarah Perpustakaan Nasioanl Indonesia12. Sumber disurat kabar
tidak disebutkan sama sekali padahal kongres pustakawan Indonesia dimuat dalam
koran yang terbit pada tahun 1954.
(3)
kurang menggunakan pelaku maupun saksi sejarah selaku sumber sejarah. Dokumen
primer dapat berupa dokumen tertulis dapat juga kesaksian pelaku atau saksi
sejarah. Buku Kiprah pustakawan hanya menyebutkan satu saksi sejarah
(Amir Hamzah Nasution) walaupun sesungguhnya dalam buku Kiprah pustakawan
banyak ditekankan perannya pada perpustakaan umum, namun kaitannya dengan Dewan
Perpustakaan Nasional hanya sedikit saja13 Masih banyak pelaku
sejarah yang tahu tentang Dewan Perpustakaan Nasional seperti Lily Koeshartini,
Sjahrial Pamoentjak, Mastini Hardjoprakosa, Moertini Pendit, Soewati
Soemarsidik dan lain-lainnya serta saksi sejarah lainnya. Para saksi sejarah
ini umumnya mahasiswa Kurus Pendidikan Pegawai Perpustakaan, semula
mensyaratkan penerimaan berupa sudah bekerja di perpustakaan, kemudian menjadi
Kursus Pendidikan Ahli Perpustakaan lalu Sekolah Perpustakaan. Di antara mereka
yang mengalaminya adalah Soekarman K, Teguh Notoprajitno, Zultanawar,
Soedarminto, Sri Lestoeni, Soeatminah dll. Pelaku dan saksi sejarah harus
diwawancari sebelum informasi yang ada di benak mereka hilang karena usia atau
keberadaannya tidak diketahui ataupun keburu meninggal14.
(4)
Penulisan teks. Dalam kebiasaan sejarah, teks sejarah ditulis dalam huruf dan
bahasa aslinya untuk menunjukkan keaslian dokumen serta konteks terjadinya
dokumen. Halaman 7-13 seharusnya diajukan dalam huruf aslinya, buka menurut EYD
yang berlaku sekarang.
3.
Penulisan ulang sejarah Perpustakaan Nasional
Bila
pihak Perpustakaan Nasional akan menulis kembali sejarahnya, maka sebaiknya
menggunakan sumber primer termasuk pelaku sejarah dan saksi sejarah semampang
beberapa pelaku dan saksi sejarah masih hidup. Sekedar contoh karangan tairas
banyak dikutip oleh penulis Indonesia namun saya sendiri ragu apakah mereka
pernah membaca dokumen asli karena karena dokumen tersebut baru dimiliki
penulisnya sekitar tahun 2002.
Penulisan
ulang sejarah perpustakaan harus mundur ke belakang (restrospektif) karena
sejarah perpustakaan nasional dapat diurut sampai ke pendirian Bataviasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschap. Hal itu berarti bahwa sejarah
perpustakaan modern di Indonesia mulai pada tahun 177815 dan itulah
di titik awal penulisan sejarah perpustakaan modern di Indonesia.
4.
Sejarah asosiasi pustakawan
Kiprah
Pustakawan memang menulis lebih banyak tentang
organisasi pustakawan sesuai dengan judul dan tujuan buku tersebut. Sungguh pun
demikian ada beberapa catatan yang perlu mengenai Kiprah Pustakawan adalah
sebagai berikut :
(1)
Uraian tentang sejarah Ikatan Pustakawan Indonesia cukup panjang, karena memang
inilah tujuan buku Kiprah Pustakawan. Dokumen primer seperti notulen,
artikel majalah digunakan dengan baik termasuk karya Tjoen dan Pardede16.
Namun demikian, ada keberatan tentang penulisan dokumen lama dalam ejaan yang
lazim digunakan di Indonesia (EYD). Dalam penulisan sejarah, dokumen asli tetap
dipertahankan, terutama bila dikaitkan dalam teks. Hal tersebut lazim dilakukan
untuk memberikan gambaran tentang konteks dokumen dibuat, suasana pada mas itu
serta penghayatan makna sejarah sebuah teks.
(2)
Sumbangan pelaku dan saksi sejarah Kiprah Pustakawan menguraikan
pertemuan pendahuluan di Bandung17 yang merupakan awal pembentukan
Kongres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi tahun 1973. Uraian akan lebih hidup
bila ditambah dengan kesaksian pelaku seperti Mastini Hardjoprakosa, Soekarman
K, tjandra Mualim, Ipon S.Purawijaya, Ismed Pasja dll.
(3)
Masalah Dalam Bibliografi. Sebagai sebuah buku yang ditulis oleh 2 (dua)
pustakawan senior seharusnya daftar kepustakaan yang dimuat pada halaman
476-480 haruslah komprehensif. Sebagai contoh entri pada Sulistyo-Basuki diberi
tanda tanya padahal artikel tersebut dimuat secara lengkap pada Berita
perpustakaan sekolah18. Uraian serupa dimuat dalam buku Periodisasi
Perpustakaan Indonesia19 namun tidak dikutip dalam buku Kiprah
Pustakawan. Sumber lain tentang organisasi pustakawan pada tahun 191620
dan semacam klab pustakawan21 menjelang tahun 1950an juga tidak
disebutkan.
5.
Penulisan Sejarah Perpustakaan Nasional
Masa
gelap dalam sejarah menjelang terbentuknya Perpustakaan Nasional terjadi
sekitar periode 1942 s.d awal 1950an tatkala KBGKW menghadapi kenyataan bahwa
Indonesia sudah lama merdeka sementara nama lembaga masih tetap menggunakan
nama Indonesia. Sejarah perpustakaan KBGKW menuju ke perpustakaan lembaga
Kebudayaa Indonesia terus ke perpustakaan Museum selanjutnya ke perpustakaan
Museum Nasional masih belum banyak ditulis terkecuali laporan tidak berkala
mengenai perpustakaan. Salah satu pelaku sejarah yaitu Mastini Hardjoprakosa
tidak menulis terlalu banyak mengenai periode itu serta belum pernah
diwawancarai oleh pustakawan tentang periode tersebut.
Untuk
periode 1778 sampai dengan 1942 tersedia banyak dokumen primer yang tersimpan
di Perpustakaan Nasional. Salah satu dokumen ialah laporan tahunan KBGKW, di
bagian akhir terdapat laporan mengenai “bibliotheek’. Sudah tentu semuanya
tertulis dalam Bahasa Belanda sehingga siapa saja yang mau menulis tentang
sejarah Perpustakaan Indonesia sebelum tahun 1950 harus menguasai Bahasa Belanda
termasuk Bahasa Belanda yang digunakan pada abad 18.
Dokumen
yang digunakan oleh Harahap dan Tairas untuk menulis sejarah organisasi cukup
banyak. Penulis pernah menanyakan keberadaan dokumen tersebut kepada petugas
Perpustakaan Nasional beberapa tahun yang lalu dalam rangka penulisan sejarah
perpustakaan Indonesia. Jawaban yang diperoleh adalah dokumen penulisan Kiprah
Pustakawan disimpan di Perpustakaan Nasional. Mudah-mudahan kondisi dokumen
tersebut masih baik, syukur kalau sudah dimikrofilmkan atau alih bentuk ke
digital. Dokumen lain mengenai Perpustakaan Nasional (baca Mastini
Hardjoprakosa) pada periode 1980-1988 seharusnya tersedia di Perpustakaan
Nasional terlepas dari perubahan zaman22.
6.
Penutup
Penulisan
sejarah perpustakaan serta organisasi pustakawan di Indonesia harus dipisahkan
karena keduanya memiliki titik tolak yang berbeda. Sungguhpun demikian,
penulisan kedua lembaga harus menggunakan sebanyak-banyaknya dokumen primer,
berupa dokumen tertulis (notulen, surat keputusan, laporan tahunan, dekrit dan
sejenisnya) serta pelaku dan saksi sejarah masih hidup.
Penulisan
sejarah Perpustakaan Nasional dimulai dari berdirinya bibliotheek Bataviasch
Genootschap van Kunsten en wetenschappen pada tahun 1778, disusul dengan
Lembaga Kebudayaan Indonesia, lalu ke Museum selanjutnya ke Museum Nasional
sebelum beranjak ke perpustakaan Nasional sebagai UPT Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan kemudian ke lembaga non-departemen.
Hal
serupa juga berlaku untuk sejarah organisasi pustakawan di Indonesia, khususnya
untuk periode pasca 1916 sampai sekitar tahun 1970an, beberapa dokumen primer
masih belum disebutkan.
Bibliografi
Bernet
Kempers, A.J. de. De Bibliotheek van het Koninklijk Bataviasch Genootschap
van
Tidak ada komentar:
Posting Komentar